Mangan ora Mangan.. yang Penting Merkantilis
Selama tiga hari berturut-turut Kompas memuat berita terpuruknya sektor pertanian Indonesia. Setuju, peningkatan produksi dan peningkatan pendapatan petani memang perlu diperjuangkan. Sederet masalah sisi produksi masih menghambat petani kita. Fluktuasi harga menjadi momok petani sementara akses bibit, modal, dan teknologi juga menjadi penghambat daya saing produk pertanian.
Kompas juga tepat mengagkat isu dis-integrasi ekonomi domestik ketika kondisi ekonomi eksternal sedang kacau. Tantangan geografis kita sebagai negara kepulauan menyebabkan segmentasi pasar dan terbatasnya economies of scale sehingga menjadi salah satu kendala pertumbuhan ekonomi. Sulit membayangkan perekonomian Indonesia bisa tumbuh seperti China karena kita punya hambatan infrastruktur. Oleh karena itu, meningkatkan integrasi pasar domestik sebaiknya menjadi salah satu acuan Kabinet ekonomi mendatang.
Tetapi konten sentimen anti-impor yang ditulis Kompas tiga hari berturut-turut membuat saya heran. Apakah pemahanam para penulis teresebut terhadap ilmu ekonomi makin melorot? Mudah-mudahan tidak. Tetapi artikel Kompas tersebut rasanya sudah "terjebak" dalam pemikiran merkantilisme abad ke 18 yang menganggap impor suatu kejahatan dan penumpukan devisa di dalam negeri sebagai barometer prestasi ekonomi.
Artikel tersebut menuliskan bahwa Indonesia telah "terjebak impor pangan" karena impornya yang kira-kira mencapai $5 milyar per tahun. Konten berita juga mengesankan perlunya "kebijakan berani" untuk swasembada produksi.
Saya tidak ingin masuk ke teknis ekonomi pertanian, tetapi saya ingin mempertanyakan beberapa hal yang muncul dalam artikel artikel tersebut.
Pertama mengenai impor dan devisa. Memang kita mengimpor sebagian pangan dan total nilai impor 2008 mencapai $5 milyar. Dari mulai gula, kedelai, dan komoditas pertanian lain yang kita juga produsen seperti ikan tertentu Indonesia pun mengiimpor.
Yang tidak ditulis Kompas adalah total ekspor non-migas Indonesia tahun 2008 mencapai $107 milyar. Ekspor produk perkebunan, pertanian dan perikanan Indonesia di tahun itu saja juga mencapai $29 milyar dan $21 milyar tergolong komoditas pangan (termasuk sawit, teh, kopi, perikanan). Lalu kalau kita impor pangan $5 milyar, apakah ini sesuatu yang mencemaskan bagi negara dengan penduduk lebih dari 250 juta jiwa dan termasuk dalam 20 negara dengan PDB terbesar?
Betul, impor menggunakan devisa dan ekspor mendatangkan devisa. Tetapi apakah perekonomian akan lebih baik dengan hanya mengumpulkan devisa? Penumpukan devisa hanya akan mengakibatkan Rupiah terapresiasi dan akhirnya malah menurunkan daya saing produk ekspor. Memang, salah satu cara menghindari masalah ini adalah dengan meniru China yang menukarkan sebagian penerimaan devisa ekspor kedalam aset asing (seperti US Treasury). Tetapi ini juga yang mengakibatkan ketidakseimbangan global yang pada akhirnya memicu krisis keuangan saat ini.
Kedua, apakah keberhasilan adalah jika apapun dapat disediakan sendiri? Apakah para penulis artikel tersebut belum pernah mendengar istilah intra-industry trade?
Contohnya begini. Mengapa negara produsen keju seperti Belanda masih mengimpor keju dari Perancis? Arab Saudi pun masih mengimpor kurma dari Tunisia atau negara Arab lainnya. Australia sebagai penghasil wool terbesar masih mengimpor kain wool atau jas ketimbang menjahit semuanya sendiri. Mengapa Eropa sebagai penghasil Airbus masih membeli pesawat Boeing, Embraer, atau produk IPTN? Jepang, sebagai produsen mobil dunia masih mengimpor Daihatsu Grand Max dari Indonesia. Lalu mengapa Amerika sebagai penghasil kedelai, gandum, dan produk teknologi tinggi masih mau impor kecap ABC dan Indomie dari kita?
Perdagangan membuka pintu bagi spesialisasi produksi sehingga produsen bisa mengeksploitasi skala ekonomi dan keunggulan komparatif nya. Perdaganan juga memungkinkan terjadinya spesialisasi produksi yang memberikan keuntungan terbesar. Ini kredo dasar teori ekonomi yang saya tidak temukan setelah membaca artikel-artikel tersebut.
Ketiga, apakah "kebijakan berani" itu berarti proteksi, subsidi, atau tata niaga? Kalau maksudnya proteksi, tidak ada gunanya untuk dibahas karena ilmunya sudah jelas. Kalau proteksi tersebut untuk mengurangi ketidakadilan karena subsidi pertanian negara-negara maju, jalankan saja mekanisme safeguard WTO secara transparan dan bukan lewat larangan ad-hoc. Kita tinggal perlu membuktikan kalau subsidi impor produk pertanian tertentu membawa akibat desktruktif oleh karena itu bea masuk perlu dinaikkan.
Kalau subsidi, saya setuju tinggal pertanyaanya mekanisme subsidi bagaimana desain subsidi yang tepat. Apakah meniru subsidi pertanian di Eropa atau Amerika yang terjebak oleh lobi politik? Apakah sebaiknya terarah (targeted) kepada petani atau dalam bentuk irigasi, bibit, dan extension services? Dengan perbaikan infrastruktur fisik, rasanya produk pertanian kita juga bisa kompetitif di dalam negeri. Miris rasanya kalau betul marjin keuntungan mengimpor jeruk China bisa lebih tinggi ketimbang mendatangkan jeruk Medan atau Pontianak.
Bagiamana dengan tata niaga? Kecuali beras yang memang punya bobot besar (22%) dalam konsumsi rumah tangga miskin, sulit menjustifikasi perlunya tata niaga untuk produk pertanian lain. Tata niaga dapat mendistorsi sinyal harga dan meningkatkan resiko petani terjebak dalam produksi komoditas tertentu saja. Katakanlah kita memaksakan adanya tata niaga kedelai. Bisa jadi harga kedelai naik secara artifisial sehingga petani tidak dibiarkan menanam produk dengan harga yang menarik seperti holtikultur (sayuran dan buah-buahan).
Keempat mengenai ketahanan pangan. I'm not an agriculture economist but why the concept of food security seems narrowly focused on the ability to produce rather on securing the ability to access food?
Labels: Agriculture, Mercantilism, Trade
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home