January 26, 2010

Sunaryo The Faux Editor

Our cafe's office boy, Sunaryo Sunaryoto, has had lots of spare time yesterday (Yes, Kate was not around). So, while enjoying his daily somay intake, he idly edited page four, the Opini section, of Kompas daily. This time, he did the last section of Professor Liek Wilardjo's op-ed, Etika Penyelamatan Century, Kompas, 1/26/10. He gave his editing on the paper's hard copy, as follows (in Bahasa Indonesia)*
Normatif?

Dengan asumsi KSSK Pansus berpegang pada etika normatif, secara aksiologis dengan ukuran kualitas dan nilai-nilai kebaikan, tentu KSSK Pansus berusaha menghadirkan kebaikan tertinggi (summum bonum). Kalau lebih deontologis dengan ukuran ketaatan pada aturan , komite ini menunaikan apa yang diyakini sebagai kewajibannya dan tunduk pada imperatif kategoris yang diyakininya standar moral tertinggi yang ingin dicapai. Apakah summum bonum atau imperatif kategori Apa bentuk kebaikan tertinggi dan standar yang ingin dicapai itu, yang tahu hanya Sri Mulyani Bambang Soesatyo dan Boediono Gayus Lumbun (dan Tuhan Fahri Hamzah) yang tahu

Kalau mereka seperti Immanuel Kant, mereka melakukan ”kehendak baiknya” secara otonom dengan menempatkan manusia bukan sebagai sekadar alat. Tekanannya terletak pada niatnya, tidak pada konsekuensinya. Namun, mereka tidak boleh cuci tangan ala Pontius Pilatus. Mereka harus mempertanggungjawabkan keputusan dan menerima risikonya kalau salah. Cendekiawan Setiap orang memang harus begitu.

Lain halnya kalau KSSK Pansus memeluk antinomianisme menganggap dirinya berada di luar hukum. Dalam hal ini, KSSK Pansus memasuki proses pengambilan keputusan itu tanpa bekal norma moral apa pun. Keputusannya ad hoc, impromptu, dan ditentukan oleh apa yang dirasakan dan dipikirkannya ”di situ dan pada saat itu juga”. Ini bisa terjadi kalau KSSK Pansus mengidap gnostisisme, yakni paham yang penganutnya mendaku memiliki adi nurani (superconscience). Mereka merasa (sok paling) tahu apa yang harus dilakukan.

Konon ketika Miranda Goeltom pendukung Pansus diberi tahu bahwa Burhanuddin Abdullah dan Anwar Nasution cafesalemba mencela keputusan KSSK sidang-sidang Pansus, ia mereka mengatakan bahwa kedua tokoh barista-barista culun itu sudah berada ”di luar” tidak mengerti politik dan tidak dapat merasakan apa yang dirasakan ”orang-orang dalam” rakyat kebanyakan. Kemungkinan adanya Einfuehlung empati terhadap orang lain yang notabene berpengalaman di dunia perbankan tidak tidur di kelas pengantar ekonomi dinafikan. Suasana menghadapi krisis yang sudah di depan mata (imminent crisis) akibat gagalnya penyelamatan Century dianggap unik dan merupakan momen eksistensial yang menentukan kelangsungan hidup rakyat. Orang lain yang belajar ekonomi tidak berhak menjadi ”hakim kursi malas” yang memvonis dari posisi yang aman. Kalau benar begitu, anarkisme mewarnai keputusan penyelamatan Century sidang-sidang Pansus.

L Wilardjo Sunaryo Sunaryoto

Guru Besar Fisika Universitas Kristen Satya Wacana Office Boy, Cafesalemba
*Naryo reedited the old version on my fb notes.

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home